Mendongkrak Asset dengan Berita Bursa

Minimal ada empat email “asing” yang mampir di mailbox saya dalam dua pekan terakhir yang intinya meminta klarifikasi atas tulisan saya yang terakhir, “Tiga Syarat Menjadi Kaya dengan Berita”. Persoalan yang diangkat hampir sama, yaitu soal investasi reksadana. Pertanyaan yang paling spesifik datang dari Pak Agus Rahman: apa hubungan antara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan reksadana.

Kepada Pak Agus, Pak Irwan, Bu Listy dan Bu Anne saya mohon maaf kalau tulisan itu tidak cukup jelas sehingga masih diperlukan penjelasan lain. Pertama-tama tulisan itu didasarkan pada asumsi bahwa reksadana adalah instrumen investasi untuk jangka panjang. Kedua, reksadana adalah instrumen investasi yang sifatnya “paket” untuk mereka yang karena berbagai alasan tidak mau mengelola investasinya sendiri di pasar modal. Karena tidak mau melakukan investasi sendiri, maka investasi itu dipercayakan kepada pihak lain. Asumsi ketiga, kita membatasi diri pada reksadana saham.

Pada dasarnya Anda dan saya memiliki kesempatan untuk membeli saham di bursa efek secara langsung. Kita bisa membeli saham (katakan saja saham Telkom) pagi ini dan menjualnya besok atau sebulan lagi atau setahun lagi pada harga tertentu. Kita bisa menjualnya karena merasa sudah untung, atau bisa juga untuk menjaga agar tidak merugi terlalu banyak (cut loss) karena kita yakin harga saham akan terus turun. Ada satu petuah investasi yang mengatakan, jangan tempatkan semua telur dalam satu keranjang. Riilnya, jangan pertaruhkan seluruh dana anda dalam satu saham (misalnya Telkom). Mengapa? Karena kalau keranjang jatuh, semua telur akan pecah. Kalau saham Telkom “jeblok”, semua dana anda akan tergerus.

Karena itu kalau berinvestasi di bursa saham, tempatkan dana Anda pada beberapa saham sejaligus (tentu saham-saham yang terbaik menurut Anda). Tujuannya, kalau saham tertentu “jeblok”, anda masih bisa berharap dari saham yang lain. Jadi tujuan utamanya adalah “merata-ratakan” (averaging) hasil investasi Anda. Dengan langkah ini kita berusaha mengurangi risiko. Tetapi pada saat yang sama potensi keuntungan kita juga dengan sendirinya berkurang. Mengapa, Anda mungkin bisa menangguk untung besar pada saham A, B dan C, tetapi karena saham D dan E anda melemah, maka secara rata-rata hasil investasi anda tidak akan begitu besar.

Tetapi muncul pertanyaan, kalau alokasi investasi anda “hanya” Rp 15 juta atau Rp25 juta, apakah efisien untuk melakukan investasi sendiri dengan membeli lima atau sepuluh saham sekaligus? Apakah tidak terlalu menyedot perhatian? Di lain pihak, apakah dengan uang sejumlah itu anda bisa membeli, katakanlah, saham di 10 perusahaan sekaligus?

Produk reksadana diluncurkan untuk menjawab kesulitan ini. Reksadana diterbitkan oleh bank investasi, didukung oleh bank kustodian. Misalnya saja Maju Lancar Investment Management menerbitkan reksadana A yang sepenuhnya berisi investasi saham 10 perusahaan, dengan komposisi tertentu. Dia juga mempunyai reksadana B dengan paket saham 8 perusahaan dengan komposisi yang berbeda lagi. Perusahaan lain lagi mempunyai paket yang berbeda lagi, dan seterusnya. Setiap perusahaan menetapkan syarat minimal investasi yang berbeda-beda pula.

Dengan demikian Anda bisa menempatkan dana Rp10 juta dan memperoleh paket berisi delapan, sepuluh atau entah berapa saham perusahaan yang berbeda-beda. Yang menarik lagi, investasi ini bisa ditambahi, misalnya Rp1 juta, setiap kali kita mempunyai alokasi investasi baru. Sampai di sini yang ingin saya katakan adalah, dengan dana investasi yang relatif kecil, kita bisa melakukan investasi pada satu paket yang berisi saham di banyak perusahaan sekaligus.

[Sekadar catatan, di luar reksadana saham ada reksadana jenis lain, yaitu reksadana pasar uang, reksadana pendapatan tetap dan reksadana gabungan. Kalau tahun lalu ada berita “heboh” tentang jebloknya reksadana, sebenarnya secara khusus yang jeblok adalah reksadana pendapatan tetap. Lain kali akan kita bahas.]

Apa urusannya dengan IHSG?

Begini. Indeks bursa (termasuk IHSG di BEJ) adalah alat untuk mengukur membaik atau memburuknya kinerja bursa. Di setiap bursa selalu ada indeks, bahkan sering ada banyak indeks sekaligus. Di BEJ ada indeks yang bersifat gabungan seluruh saham, ada pula indeks yang didasarkan pada sektor industri tertentu. Indeks selalu dibuat berdasarkan satu waktu tertentu. Misalnya saja, ketika BEJ mulai beroperasi, ada 10 perusahaan yang tercatat di sana, dan indeks dibuka pada angka dasar 100. Di waktu selanjutnya ada harga saham yang naik, ada yang turun. Kenaikan dan penurunan itu kemudian dibuat rata-rata, dengan memperhitungkan volume saham dan total nilai pasar. Maka kalau sebulan kemudian indeks tercatat pada 110,12, berarti dalam satu bulan itu rata-rata keuntungan di bursa dalam satu bulan adalah 10,12%.

Setiap kali ada perusahaan baru masuk bursa, maka jumlah saham dan nilai pasar yang dirata-ratakan juga diubah, sehingga seluruh saham memiliki peran yang sama (secara proporsional) terhadap naik turunnya indeks. Begitulah cara indeks bekerja. Sekali lagi karena indeks adalah sebuah perata-rataan, maka kalau indeks naik bukan berarti semua saham naik, melainkan secara rata-rata harga saham naik. Tetapi tentu saja ada harga saham yang melemah. Bukan hanya saham tertentu, tetapi bisa jadi sebagian besar saham dari satu sektor tertentu bisa bergerak berlawanan dengan IHSG. Misalnya saja IHSG melemah, tetapi bisa saja saham-saham pertambangan menguat.

Mekanisme yang sama juga terjadi pada reksadana. Indikator naik atau turunnya investasi reksadana diukur dengan nilai aktiva bersih (NAB), yang secara garis besar sama dengan indeks, tetapi indeks ini hanya terbatas pada saham-saham yang masuk dalam reksadana itu. Karena saham-saham dalam reksadana itu adalah bagian dari saham-saham yang tercarat di Bursa Efek Jakarta, maka pada umumnya pergerakan IHSG akan sama dengan pergerakan NAB satu reksadana. Kalau IHSG naik, biasanya NAB juga naik dan sebaliknya. Selalu ada kemungkinan sebaliknya, tetapi kemungkinan ini sangat kecil. Mengapa? Karena paket reksadana biasanya memang dibuat mewakili seluruh sektor industri. Jadi hampir tidak mungkin NAB reksadana saham bergerak ke arah yang berlawanan dengan IHSG.

Pertanyaan Pak Agus Rahman, mengapa ketika IHSG turun adalah waktu yang tepat untuk mengoleksi reksadana? Jawaban atas pertanyaan ini berangkat dari metode berpikir teknis dalam investasi saham. Lawan dari berpikir teknis adalah berpikir fundamental. Berpikir teknis dalam investasi saham dilakukan dengan mencermati trend harga saham. Para pakar analisa teknis menyebutkan bahwa harga saham di bursa selalu bergerak dengan pola tertentu. Pola itu bisa dilihat berdasarkan jam, hari, pekan, bulan, sampai tahun. Berdasarkan rentetan data yang dimiliki, seorang analis akan bisa menyimpulkan apakah harga saham sedang dalam trend menguat atau melemah.

Biasanya, harga saham baik individual maupun secara keseluruhan dalam indeks bergerak pada rentang (band) tertentu. Rentang atau band itu dibentuk oleh harga (atau indeks) tertinggi dan harga (atau indeks) terendah dalam satu periode tertentu. Tetapi yang menarik, adalah bahwa satu rekor tertinggi selalu akan selalu diperbarui, seiring dengan pertumbuhan ekonomi (yang didalamnya adalah bisnis dan industri). Di bursa manapun selalu saja ada rekor baru, yang diikuti dengan penurunan harga pada jangka waktu tertentu, tetapi kemudian rekor itu selalu saja terbarui.

Atas dasar itulah saya (dan teman saya yang saya ceritakan dalam tulisan sebelumnya) berpendapat bahwa semakin jauh “jarak” dari rekor tertinggi IHSG semakin tepat untuk mengoleksi reksadana. Sedikit banyak saya melakukan investasi pada instrumen ini juga. Saya membeli pertama kali ketika IHSG sedang berada pada skitar angka 800an, 950an dan 1100an. Ketika IHSG mendekati rekor 1550an (ketika tulisan saya sebelumnya muncul), istri saya murung karena ketika IHSG berada di sekitar 1300 kami tidak membeli reksadana. Tapi saya katakan, jangan membeli reksadana pada saat IHSG berada di puncak. Dan benar, IHSG kemudian turun dan kami segera pesan “Beli sekian unit ketika IHSG berada di bawah 1280.” Kami beruntung karena kami bisa mendapatkanya awal pekan lalu ketika IHSG berada di sekitar 1250, dan hari ini (Senin 19 Juni) IHSG sudah berada di atas 1300. Saya yakin, cepat atau lambat IHSG akan melampaui 1600, dan saya akan sabar menanti. Mengapa? Karena untuk saya dan istri, reksadana hanya untuk investasi jangka panjang, untuk pensiun.

 

 

Komentar

Telah Dibaca:5033

Leave a Comment