Pastor Widyo di Mata Keluarga

Pak Wito:
Dia Mengangkat Martabat Orangtua

Waktu kecil dia diberi nama Djino karena dia anak nomor siji (satu), lahirnya tanggal siji bulan siji, tahun seket siji (limapuluh satu). Begitulah cara orang jawa mengingat-ingat kelahiran anaknya. Jadi dia diberi nama Djino supaya mudah diingat. Djino itu maksudnya siji ono (satu ada).

Selengkapnya...

Telah Dibaca:2007

Pastor Widyo di Mata Rekan Sekomunitas

Pastor Widyo memulai karyanya di St. Monika sebagai pastor pembantu, karena Pastor Katmo masih bertugas di paroki ini sebagai pastor kepala paroki. Tetapi sebagai OSC, dia dipilih sebagai rektor rumah yang waktu itu beranggotakan empat orang, termasuk Pastor Donatus Manalu dan Pastor Andreas Dedi. Kini Pastor Widyo menjadi pastor paroki, dan Pastor Donatus serta Pastor Andreas menjadi pastor pembantu. Berikut adalah komentar singkat kedua pastor itu tentang Pastor Widyo.

Selengkapnya...

Telah Dibaca:2165

Pastor Widyo di Mata Umat

Lebih dari satu tahun sudah Pastor Widyo bertugas di Paroki St. Monika, tetapi cukup banyak umat yang menolak ketika diajak “ngerumpi” tentang beliau. Alasan yang paling banyak disampaikan adalah, “Saya belum kenal baik kecuali melalui kotbahnya… atau melalui tulisannya di Komunika.” Mereka, umumnya, merasa belum bergaul cukup akrap dengan Pastor Widyo. Bahkan seorang anggota dewan paroki mengatakan hal yang sama, “Jangan… saya belum begitu mengenal…” Tetapi ketika penulis datang ke Cirebon untuk berbicara dengan beberapa umat, mereka antusias sekali berbicara dengan Pastor Widyo. Maklumlah, Pastor kita bertugas di paroki itu selama hampir delapan tahun. Penulis kutipkan pendapat umat Cirebon, agar kita umat St. Monika lebih mengenal Pastor Widyo, pastor paroki kita.

Selengkapnya...

Telah Dibaca:1763

Epilog

Anda tahu siapa itu Antasena? Tahu siapa itu Wisanggeni? Keduanya adalah kesatria putera Pandawa. Yang pertama adalah putera Bima, yang kedua adalah putera Arjuna. Ada kesamaan pokok antara keduanya, yakni sama-sama blak-blakan, jujur, apa adanya, spontan, sekaligus berani melawan junjungan mereka kalau mereka yakin bahwa junjungan mereka memang salah. Mereka berdua adalah kesatria yang selalu siap bertempur membela nama besar keluarga pandawa. Tetapi manakala mereka tahu bahwa keluarga mereka mulai menapak ke jalan yang sesat, kedua kesatria ini tidak segan-segan berteriak dalam bahasa “ngoko“, yakni bahasa Jawa yang dipakai antara dua orang yang setara dalam suasana yang sama sekali tidak formal. Mereka menggunakan gaya bahasa “ngoko” karena memang tidak bisa menggunakan “krama inggil”, yakni bahasa Jawa yang harus digunakan oleh orang muda kepada orang tua atau orang yang berderajat lebih rendah kepada mereka yang berderajad lebih tinggi, atau antara dua orang yang sederajat tetapi dalam sikap saling menghormati.

Selengkapnya...

Telah Dibaca:2392